Thursday, January 31, 2013

My First Short Story


Spidol Biru Muda
“Guys, kayaknya gurunya udah nyampe deh.” Kata Vee sambil berjinjit untuk mengintip kelasnya dari masjid sekolah. Ia dan teman-temannya baru saja selesai beribadah. Mereka sedang mengobrol kesana-kesini sembari menikmati angin. “Kelas udah sepi gitu.” Lanjutnya.
“Alah, Bu Akira juga. Telat juga nggak apa-apa paling.” Reya menimpali.
“Lagian nih, Vee. Enakan juga di sini. Sejuuuuuukk.” Tambah Nad. Yang lainnya segera mengangguk tanda setuju dengan pernyataan Nad.
“Ya udah deh.” Vee pasrah.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Mereka semua benar-benar menikmati suasana siang yang mendung itu, dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba,
“Eh lupa!” teriak Nad mengagetkan semua orang di masjid. Termasuk Vee yang sedang membenarkan kerudungnya dengan bantuan pintu kaca di masjid dan anak-anak laki-laki yang masih bercakap di dalam masjid. Semua menoleh pada Nad. Namun, salah seorang anak laki-laki malah tak segaja bertatapan mata dengan Vee. Tiba-tiba, darah Vee berdesir. Sekujur tubuhnya merinding.
“Aku belum ngerjain biologinya Bu Akira.” Rengek Nad.
Tarikan tangan Nad memaksanya mengacuhkan perasaan itu. ‘Itu kan Bagas.’ Batin Vee, begitu melihat orang yang diajak bercakap oleh anak laki-laki yang menatapnya itu. Ia tahu Bagas. Dulu, saat ia masih mengikuti ekstrakurikuler musik, ia pernah melihat Bagas. Wajah Bagas yang selalu terlihat bersih dan segar membuat Vee tahan menatapnya lama-lama. Sebetulnya Vee ingin bercakap dengan Bagas walaupun hanya sekali. Tapi sebelum itu terjadi, Vee keburu disibukkan dengan tugasnya yang seabreg yang membuatnya keluar dari ekstrakurikuler tersebut.
Selama pelajaran Bu Akira, Vee tak bisa berkonsentrasi. Pikirannya terus tertuju pada laki-laki yang bertatapan dengannya tadi. Berbagai pikiran muncul di benaknya. ‘Dia siapa ya? Pasti temennya Bagas. Waktu itu juga kayaknya pulang bareng Bagas. Kalo gitu nyari tau Bagas aja. Bagas kan terkenal. Pasti banyak yang tau soal Bagas. Eh, tapi, kalau aku tanya tentang Bagas, nanti ada yang curiga gimana? Aduh! Kenapa sih kamu Vee? Stop doing this! Dengerin Bu Akira dong. Kamu harus konsen sama pelajarannya Bu Akira. Tapi cowok tadi sekelas sama Bagas nggak ya? Bagas kan kelas XI IPA 4. Semoga aja sekelas. Jadi kan sebelahan. IPA 3, IPA 4. Bisa sering liat deh. Aduh, Vee! Wake up! Waktunya pelajaran! Nggak ngelamun! Tapi penasaran. Gimana caranya aku tahu tentang dia?’
Lamunan Vee terhenti. Speaker sentral berbunyi, menandakan akan ada pengumuman. ‘Pengumuman. Ditujukan untuk seluruh siswa-siswi SMA Harmoni Bangsa yang telah terpilih dalam seleksi Turnamen Basket se-Kabupaten, diharapkan nanti pulang sekolah berkumpul di kelas XI IPA 4. Terima kasih’.
Vee segera melirik arlojinya. Biasanya, pengumuman di jam pelajaran terakhir disampaikan 5 menit sebelum pulang. Dan benar saja.
“5 menit lagi pulang. Yes! Yes!” Vee berkata sambil menarik tinjunya diam-diam sebelum Bu Akira menyadari ketidaksopanannya.
“Bikin powerpoint dulu!” kata Reya yang duduk di belakang bangku Vee sambil memberesi alat tulisnya. Mendengarnya, seketika Vee lesu.
“Nggak bisa besok ya?” protes Vee. Ia sudah sangat lelah hari ini. Lagipula ia ingin mencari tahu tentang anak laki-laki itu.
“Nggak!” Jawab Reya tegas.
“Tapi kan, Nindya nanti kumpul basket.” Lanjutnya, “Nggak bisa dong.”
“Emangnya bertiga aja nggak bisa? Kita kan udah sering bikin powerpoint. Pokoknya sekarang. Aku, kamu, sama Nad. Kata Nindya, dia mau nyusul abis kumpul nanti.” Kata Reya ngotot.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, mereka bergegas mempersiapkan pengerjaan tugas mereka. Dengan cekatan, Vee langsung mengambil alih laptop Nad dan mengutak-atiknya. Nad sendiri tidak lagi kaget. Setiap pengerjaan tugas, Vee selalu menjadi andalan mereka dalam urusan komputer. Nad sendiri mengambil beberapa lembar kertas berisi materi tugas, dan Reya menulis format yang harus dikerjakan Vee.
Dalam waktu kurang dari 2 jam, mereka selesai mengerjakannya. Wajar saja, mereka adalah perkumpulan anak-anak berprestasi di sekolah. Vee dalam bidang kimia, TIK, dan bahasa Inggris. Nad dalam bidang Biologi dan sejarah. Reya dalam bidang matematika dan fisika. Nindya, ahlinya olahraga. Namun kepandaian mereka tidak menjadikan mereka mengisolasi diri. Mereka akan menolak mati-matian kalau sampai ada yang menyebut mereka adalah sebuah geng, meskipun, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memang sangat dekat satu sama lain.
“hai, ceman-ceman!” Teriak Nindya tiba-tiba di ambang pintu.
“hai juga, Nind. Tapi nggak usah pake teriak dong. Lagian kamu kok disini? Emang udah selesai basketannya?” Nad menimpali sambil membereskan alat – alat tugas mereka.
“begitulah. Sori ya nggak sempet bantu.”Kata Nindya sambil mendekati Nad dan membantunya.
Vee keluar untuk membuang gumpalan kertas dan beberapa sampah bungkus jajanan mereka. Baru saja dia akan berbalik kembali ke kelas, ia menatapnya. Anak laki –laki itu. Dia baru saja keluar dari pintu kelas XI IPA 4. Mereka bertatapan kembali. Namun kali ini, anak laki-laki itu tersenyum. Meskipun ragu-ragu. Vee kaget, darahnya berdesir. Dia mencoba menarik ujung-ujung bibirnya untuk membalas senyuman mematikan itu.
Yup! Dia anak basket. Petunjuk!’ Teriak Vee dalam hati. Dengan jantung yang masih terus berdegup kencang, Vee masuk ke kelasnya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat anak laki-laki itu menaiki motornya lalu pergi.
---
“Oh My! Hapeku masih di laci, Nad. Temenin ambil dulu yuk bentar.” Kata Vee setelah merogoh saku rok seragamnya. Vee segera menarik tangan Nad. Nad yang belum reda kekagetannya langsung meracau. Dia berkata ini-lah, itu –lah. Tapi Vee tidak menghiraukannya. Dia berjalan dengan cepat sambil terus menggandeng Nad.
Mereka baru saja beranjak pulang dari sekolah naik mobil Nindya. Mereka akan pergi ke salah satu bioskop untuk merayakan hari Sabtu mereka. Ya. Hari Sabtu adalah hari yang paling mereka sukai. Di hari itu, sekolah membebaskan beberapa aturan berpakaian, kecuali seragam tentunya. Di hari itu juga, Nindya selalu diperbolehkan membawa mobil oleh orangtuanya. Dan mereka juga tidak perlu cemas memikirkan tugas untuk besok pagi, karena hari Minggu adalah hari libur nasional.  
Di kelas masih ada beberapa anak yang tinggal. Entah apa yang dilakukan mereka. Tanpa pikir panjang, Vee segera menuju mejanya, membungkuk dan mengambil HP di laci meja tersebut.
“Fiuh. Selamat.” Vee memeluk HP –nya.
“Pssst. Vee! Vee! Lihat! Itu Agit kan?” tanya Nad berbisik.
“Hah? Siapa? Agit? Yang mana?” Vee balik bertanya. Ia juga berbisik mengikuti Nad. Karena ia tahu, di situ ada Bagas dan anak-anak kelas sebelah sedang mengerumuni sebuah laptop. Sepertinya sedang mengerjakan tugas. Dan di samping Bagas, ia baru sadar. Di sana! Ya! Di sana! Anak laki-laki itu. ‘Jangan-jangan itu yang dimaksud Nad’. Meskipun anak-anak kelas sebelh memunggungi mereka, Vee sudah merasa sangat pasti bahwa matanya tidak salah lihat.
“Kamu tuh. Itu loh, yang pake jaket ijo. Sebelahnya Bagas.”
Deg!
Jantung Vee seakan berhenti. ‘Jadi namanya Agit?’
“Kok kamu tahu, Nad?” Tanya Vee memasang muka polos.
“Dia kan terkenal, Vee. Kamu kuper apa gimana sih? Banyak tau yang naksir dia. Tuh si Reya juga termasuk.” Jawab Nad santai.
terkenal? Banyak yang naksir? Reya juga naksir?’ Vee bengong. Tapi kemudian ia bertanya lagi kepada Nad. Tiba-tiba ia sangat antusias.
“Terkenal? Karena apa?”
“dia kan cool. Lagian dia juga anak basket.”
“Cool dari mana? Jelek, item, pendek. Masa anak basket. Sok cool iya kali.” Vee berbohong. “tapi kok dia kaya lagi ngerjain tugas sama bagas sama yang lain? Emang dia juga IPA 4 apa? Kalo dia IPA 4 kok ngerjai tugas di sini? Eh iya, IPA 4 nggak ada listriknya ya. Hahaha” lanjutnya. Nad hanya mengangguk menjawab  Vee. Kali ini, Nad harus segera menarik tangan Vee karena Nindya dan Reya sudah pasti menunggu.
---
Semingu sudah sejak Vee mengetahui nama anak laki-laki itu. Kini, ia selalu menggumamkan namanya dalam hati. ‘Agit, Agit, Agit, Agit’ Dia bahkan membuat sebuah simbol yang jika diperhatikan dengan teliti, membentuk huruf A dan V. Ia juga semakin suka menggunakan warna biru muda, warna kesukaannya. Dia suka sekali dengan warna biru muda. Sebagian besar barang yang dia miliki berwarna biru muda. Sepatu olahraga, tas, buku, tempat pensil, helm, motor dan banyak lagi di kamarnya. Tetapi yang membuat ia semakin menyukai warna biru adalah karena setiap ia melihat warna biru muda, ia seakan melihat Agit di dalamnya. Apalagi ketika melihat spidol biru mudanya yang selalu ia pakai untuk menandai bukunya. Sosok Agit semakin terlihat nyata. Seakan-akan, biru muda adalah Agit.
Pernah suatu saat, Nad bertanya “Kamu mau transformasi jadi Smurf* ya, Vee?” Nad heran dengan tingkah laku Vee yang selalu membawa spidol biru mudanya. Vee hanya ingin terus melihat Agit. Ia merasa tenang dan hangat ketika melihatnya. Tak peduli berapa banyak anak perempuan di sekolahnya atau dimanapun yang juga menyukai Agit. Ia hanya ingin merasa nyaman.
---
“Perbedaan yang mencolok dari sistem pencernaannya ruminansia ini adalah lambungnya. Lambungnya ada empat. Yaitu Rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Di slide ini udah dijelasin. Kalau mau dicatat dulu, silakan.” Bu Akira menjelaskan.
Semua anak di kelas XI IPA 3 segera menyalin powerpoint yang di tayangkan Bu Akira lewat LCD Proyektor di kelas mereka. Termasuk Vee. Ia menulis dengan cekatan dan rapi. Tak lupa dihiasinya buku catatan itu dengan spidol warna biru muda. Sejenak setelah menggunakan spidol itu, ia memandangi spidolnya. Wajah Agit terpampang lagi. Namun, saat ini, gambarannya semakin nyata.
Beberapa saat kemudian, Vee mengabaikan penjelasan Bu Akira. Ia sudah pernah membaca materinya dan guru bimbelnya juga sudah pernah menjelaskan kepadanya. Karena bosan, ia hanya menimang-nimang spidol birunya sambil melayangkan pandangan matanya keluar kelas.  Tiba-tiba Agit lewat. Bibirnya bergerak. Awalnya, Vee mengira Agit hanya tersenyum. Namun ternyata, Agit menyapanya. Dengan suara yang lirih, Agit memanggilnya. Hampir tidak ada yang menyadarinya. Vee pun kaget dibuatnya. Jantungnnya berdebar kencang.
---
“Vee” sapa Agit ketika melewati Vee. Suaranya sama lirihnya seperti saat pertama Agit menyapanya waktu itu. Entah sudah berapa lama, Agit tak pernah absen menyapanya seperti tadi. Vee tidak pernah tahu dari mana Agit tahu namanya.Namun itu semua dihiraukannya. Ia hanya mencoba belajar membalas sapaan Agit. Hingga suatu hari,
“Aku siapin mobil dulu ya.” Kata Nindya tepat setelah bel pulang berbunyi. Ya! Ini adalah hari Sabtu. Empat sekawan itu akan segera melaksnakan kebiasaan mereka. Sementara menunggu Nindya, Nad mencoba mengerjakan beberapa soal fisika yang tak dipahaminya, tentunya dengan bantuan Reya. Karena bosan, Vee keluar kelas mencari udara segar.
Hampir semua murid berhamburan dari keluar dari kelasnya masing-masing. Vee berjalan perlahan menuju pintu sambil sesekali tersenyum menjawab pamitan teman-temannya yang akan pulang.
 Ia telah sampai di pintu. Detik lainnya arah pandangannya tertuju pada kelas sebelahnya. XI IPA 4. Ia menunggu Agit keluar. Ia mulai mengintip kelas Agit. Dilihatnya Agit berjalan menuju pintu kelas. Tak mau dianggap menunggu Agit, Vee segera kembali ke posisi awalnya dan berpura-pura melihat ke arah lain.
Di sudut matanya, ia melihat Agit mendekat. Jantung Vee berdegup kencang. Ia menahan nafasnya, dan “Hai, Vee,”. Vee berbunga-bunga. Iya hanya mengangguk dan tersenyum melihat Agit. Nafasnya yang tertahan langsung dihembuskannya. Entah mengapa ia merasa lega, seakan-akan sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi tadi hilang begitu saja.
Tetapi, ternyata kalimat Agit belum selesai. Ia menambahkan “Hai, Reya.”
Sontak hati Vee mencelos. Ia langsung menoleh ke arah Reya. Segera disadarinya ternyata Reya sudah berdiri di dekatnya. Entah kenapa Vee tiba-tiba ingin mendorong Reya jauh-jauh. Kalau perlu sampai dia terjatuh. Tapi perasaan itu buru-buru dibuangnya.
Ia berkata “Loh Re, kamu udah di sini? Emang Nad udah selesai?”
“Belum sih. Cuma mau ngebales sapaan pacar aja.”Jawab Reya santai smabil tersenyum damai. Vee kaget bukan main. Sepengetahuannya, yang menyapa Reya tadi, Agit. ‘Apa mungkin mereka pacaran? Sejak kapan?’
“Pacar? Siapa?” Vee tak bisa menahan rasa keingintahuannya
“Pacarku dong. Yang tadi nyapa.” Reya tersenyum lalu melanjutkan “Agit.”
Vee hampir saja tak bisa menahan tubuhnya untuk tidak jatuh ke lantai. Kakinya tiba-tiba lemas. Nafasnya berat, matanya pedas. Tapi ia menahannya
“Yaampun. Sejak kapan? Kok nggak cerita? Selamat ya Re. Kalian emang udah cocok. Aku udah nebak kalau kalian bakal jadian.” Vee sumringah. Tapi itu bagian bohongnya.
“Baru kemarin kok. Makasih  ya Vee. Tapi baru kamu kok yang tau.”
“Iya sama-sama. Long last ya re.”  Vee menjabat tangan Reya. Tetapi ia langsung berakting buru-buru. Vee segera berpamitan kepada Reya dan menitip pesan serta permintaan maaf untuk Nad dan Nindya. Ia membuat sebuah alasan palsu. Satu hal yang dipikirkannya. Ia ingin ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu
---
Setelah sampai di rumah, Vee berlari ke kamarnya. Menutup pintu dan menguncinya. Ketika ia mlepas jaketnya, spidol biru muda yang selama ini menemaninya terjatuh. Vee bingung. Ia ingin mengambilnya. Tapi Ia bingung. Hatinya tersakiti oleh Agit. Tapi di sisi lain, ia harus bahagia karena sahabatnya, Reya, baru saja jadian. Ia bingung. Sangat bingung. Hingga akhirnya ia menangis.
Setelah beberapa lama, tangisannya mereda. Ia segera mencuci mukanya dan keluar dari kamarnya. “Ma, nanti belanja ya. Aku mau ganti perabot kamar.” Teriaknya. Tanpa menunggu jawaban ibunya, Vee brlari ke kamar. Di dalamnya, masih ada spidol biru yang tadi dijatuhkannya. Tiba-tiba ia merasa jijik. Detik berikutnya, ia segera membawa lari spidol itu ke tempat pembakaran sampah di belakang rumahnya. Vee melempar spidol kesayangannya itu, sambil berkata
“Terima kasih untuk semuanya, Git”

1 comment:

  1. What is the best way to win at online game casino?
    When online game casino sites choose to bring new life into 쏘걸 the game world, it is a good idea to start practicing 카지노 their strategy with these

    ReplyDelete