Spidol Biru Muda
“Guys, kayaknya gurunya udah nyampe deh.”
Kata Vee sambil berjinjit untuk mengintip kelasnya dari masjid sekolah. Ia dan
teman-temannya baru saja selesai beribadah. Mereka sedang mengobrol
kesana-kesini sembari menikmati angin. “Kelas udah sepi gitu.” Lanjutnya.
“Alah, Bu Akira juga. Telat juga nggak
apa-apa paling.” Reya menimpali.
“Lagian nih, Vee. Enakan juga di sini.
Sejuuuuuukk.” Tambah Nad. Yang lainnya segera mengangguk tanda setuju dengan
pernyataan Nad.
“Ya udah deh.” Vee pasrah.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan.
Mereka semua benar-benar menikmati suasana siang yang mendung itu, dan hanyut
dalam pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba,
“Eh lupa!” teriak Nad mengagetkan semua orang
di masjid. Termasuk Vee yang sedang membenarkan kerudungnya dengan bantuan
pintu kaca di masjid dan anak-anak laki-laki yang masih bercakap di dalam
masjid. Semua menoleh pada Nad. Namun, salah seorang anak laki-laki malah tak
segaja bertatapan mata dengan Vee. Tiba-tiba, darah Vee berdesir. Sekujur
tubuhnya merinding.
“Aku belum ngerjain biologinya Bu Akira.”
Rengek Nad.
Tarikan tangan Nad memaksanya mengacuhkan
perasaan itu. ‘Itu kan Bagas.’ Batin
Vee, begitu melihat orang yang diajak bercakap oleh anak laki-laki yang
menatapnya itu. Ia tahu Bagas. Dulu, saat ia masih mengikuti ekstrakurikuler
musik, ia pernah melihat Bagas. Wajah Bagas yang selalu terlihat bersih dan
segar membuat Vee tahan menatapnya lama-lama. Sebetulnya Vee ingin bercakap
dengan Bagas walaupun hanya sekali. Tapi sebelum itu terjadi, Vee keburu
disibukkan dengan tugasnya yang seabreg yang membuatnya keluar dari
ekstrakurikuler tersebut.
Selama pelajaran Bu Akira, Vee tak bisa
berkonsentrasi. Pikirannya terus tertuju pada laki-laki yang bertatapan
dengannya tadi. Berbagai pikiran muncul di benaknya. ‘Dia siapa ya? Pasti temennya Bagas. Waktu itu juga kayaknya pulang
bareng Bagas. Kalo gitu nyari tau Bagas aja. Bagas kan terkenal. Pasti banyak
yang tau soal Bagas. Eh, tapi, kalau aku tanya tentang Bagas, nanti ada yang
curiga gimana? Aduh! Kenapa sih kamu Vee? Stop doing this! Dengerin Bu Akira
dong. Kamu harus konsen sama pelajarannya Bu Akira. Tapi cowok tadi sekelas
sama Bagas nggak ya? Bagas kan kelas XI IPA 4. Semoga aja sekelas. Jadi kan
sebelahan. IPA 3, IPA 4. Bisa sering liat deh. Aduh, Vee! Wake up! Waktunya
pelajaran! Nggak ngelamun! Tapi penasaran. Gimana caranya aku tahu tentang
dia?’
Lamunan Vee terhenti. Speaker sentral
berbunyi, menandakan akan ada pengumuman. ‘Pengumuman.
Ditujukan untuk seluruh siswa-siswi SMA Harmoni Bangsa yang telah terpilih
dalam seleksi Turnamen Basket se-Kabupaten, diharapkan nanti pulang sekolah
berkumpul di kelas XI IPA 4. Terima kasih’.
Vee segera melirik arlojinya. Biasanya,
pengumuman di jam pelajaran terakhir disampaikan 5 menit sebelum pulang. Dan
benar saja.
“5 menit lagi pulang. Yes! Yes!” Vee berkata
sambil menarik tinjunya diam-diam sebelum Bu Akira menyadari ketidaksopanannya.
“Bikin powerpoint dulu!” kata Reya yang duduk
di belakang bangku Vee sambil memberesi alat tulisnya. Mendengarnya, seketika
Vee lesu.
“Nggak bisa besok ya?” protes Vee. Ia sudah
sangat lelah hari ini. Lagipula ia ingin mencari tahu tentang anak laki-laki
itu.
“Nggak!” Jawab Reya tegas.
“Tapi kan, Nindya nanti kumpul basket.”
Lanjutnya, “Nggak bisa dong.”
“Emangnya bertiga aja nggak bisa? Kita kan
udah sering bikin powerpoint. Pokoknya sekarang. Aku, kamu, sama Nad. Kata
Nindya, dia mau nyusul abis kumpul nanti.” Kata Reya ngotot.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, mereka
bergegas mempersiapkan pengerjaan tugas mereka. Dengan cekatan, Vee langsung
mengambil alih laptop Nad dan mengutak-atiknya. Nad sendiri tidak lagi kaget.
Setiap pengerjaan tugas, Vee selalu menjadi andalan mereka dalam urusan
komputer. Nad sendiri mengambil beberapa lembar kertas berisi materi tugas, dan
Reya menulis format yang harus dikerjakan Vee.
Dalam waktu kurang dari 2 jam, mereka selesai
mengerjakannya. Wajar saja, mereka adalah perkumpulan anak-anak berprestasi di
sekolah. Vee dalam bidang kimia, TIK, dan bahasa Inggris. Nad dalam bidang
Biologi dan sejarah. Reya dalam bidang matematika dan fisika. Nindya, ahlinya
olahraga. Namun kepandaian mereka tidak menjadikan mereka mengisolasi diri.
Mereka akan menolak mati-matian kalau sampai ada yang menyebut mereka adalah
sebuah geng, meskipun, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memang sangat dekat
satu sama lain.
“hai, ceman-ceman!” Teriak Nindya tiba-tiba
di ambang pintu.
“hai juga, Nind. Tapi nggak usah pake teriak
dong. Lagian kamu kok disini? Emang udah selesai basketannya?” Nad menimpali
sambil membereskan alat – alat tugas mereka.
“begitulah. Sori ya nggak sempet bantu.”Kata
Nindya sambil mendekati Nad dan membantunya.
Vee keluar untuk membuang gumpalan kertas dan
beberapa sampah bungkus jajanan mereka. Baru saja dia akan berbalik kembali ke
kelas, ia menatapnya. Anak laki –laki itu. Dia baru saja keluar dari pintu
kelas XI IPA 4. Mereka bertatapan kembali. Namun kali ini, anak laki-laki itu
tersenyum. Meskipun ragu-ragu. Vee kaget, darahnya berdesir. Dia mencoba
menarik ujung-ujung bibirnya untuk membalas senyuman mematikan itu.
‘Yup!
Dia anak basket. Petunjuk!’ Teriak Vee dalam hati. Dengan jantung yang
masih terus berdegup kencang, Vee masuk ke kelasnya. Dari sudut matanya, ia
bisa melihat anak laki-laki itu menaiki motornya lalu pergi.
---
“Oh My! Hapeku masih di laci, Nad. Temenin
ambil dulu yuk bentar.” Kata Vee setelah merogoh saku rok seragamnya. Vee
segera menarik tangan Nad. Nad yang belum reda kekagetannya langsung meracau.
Dia berkata ini-lah, itu –lah. Tapi Vee tidak menghiraukannya. Dia berjalan
dengan cepat sambil terus menggandeng Nad.
Mereka baru saja beranjak pulang dari sekolah
naik mobil Nindya. Mereka akan pergi ke salah satu bioskop untuk merayakan hari
Sabtu mereka. Ya. Hari Sabtu adalah hari yang paling mereka sukai. Di hari itu,
sekolah membebaskan beberapa aturan berpakaian, kecuali seragam tentunya. Di
hari itu juga, Nindya selalu diperbolehkan membawa mobil oleh orangtuanya. Dan
mereka juga tidak perlu cemas memikirkan tugas untuk besok pagi, karena hari
Minggu adalah hari libur nasional.
Di kelas masih ada beberapa anak yang
tinggal. Entah apa yang dilakukan mereka. Tanpa pikir panjang, Vee segera
menuju mejanya, membungkuk dan mengambil HP di laci meja tersebut.
“Fiuh. Selamat.” Vee memeluk HP –nya.
“Pssst. Vee! Vee! Lihat! Itu Agit kan?” tanya
Nad berbisik.
“Hah? Siapa? Agit? Yang mana?” Vee balik
bertanya. Ia juga berbisik mengikuti Nad. Karena ia tahu, di situ ada Bagas dan
anak-anak kelas sebelah sedang mengerumuni sebuah laptop. Sepertinya sedang
mengerjakan tugas. Dan di samping Bagas, ia baru sadar. Di sana! Ya! Di sana!
Anak laki-laki itu. ‘Jangan-jangan itu
yang dimaksud Nad’. Meskipun anak-anak kelas sebelh memunggungi mereka, Vee
sudah merasa sangat pasti bahwa matanya tidak salah lihat.
“Kamu tuh. Itu loh, yang pake jaket ijo.
Sebelahnya Bagas.”
Deg!
Jantung Vee seakan berhenti. ‘Jadi namanya Agit?’
“Kok kamu tahu, Nad?” Tanya Vee memasang muka
polos.
“Dia kan terkenal, Vee. Kamu kuper apa gimana
sih? Banyak tau yang naksir dia. Tuh si Reya juga termasuk.” Jawab Nad santai.
‘terkenal?
Banyak yang naksir? Reya juga naksir?’ Vee bengong. Tapi kemudian ia
bertanya lagi kepada Nad. Tiba-tiba ia sangat antusias.
“Terkenal? Karena apa?”
“dia kan cool. Lagian dia juga anak basket.”
“Cool dari mana? Jelek, item, pendek. Masa
anak basket. Sok cool iya kali.” Vee berbohong. “tapi kok dia kaya lagi
ngerjain tugas sama bagas sama yang lain? Emang dia juga IPA 4 apa? Kalo dia
IPA 4 kok ngerjai tugas di sini? Eh iya, IPA 4 nggak ada listriknya ya. Hahaha”
lanjutnya. Nad hanya mengangguk menjawab Vee. Kali ini, Nad harus segera menarik tangan
Vee karena Nindya dan Reya sudah pasti menunggu.
---
Semingu sudah sejak Vee mengetahui nama anak
laki-laki itu. Kini, ia selalu menggumamkan namanya dalam hati. ‘Agit, Agit, Agit, Agit’ Dia bahkan
membuat sebuah simbol yang jika diperhatikan dengan teliti, membentuk huruf A
dan V. Ia juga semakin suka menggunakan warna biru muda, warna kesukaannya. Dia
suka sekali dengan warna biru muda. Sebagian besar barang yang dia miliki
berwarna biru muda. Sepatu olahraga, tas, buku, tempat pensil, helm, motor dan
banyak lagi di kamarnya. Tetapi yang membuat ia semakin menyukai warna biru
adalah karena setiap ia melihat warna biru muda, ia seakan melihat Agit di
dalamnya. Apalagi ketika melihat spidol biru mudanya yang selalu ia pakai untuk
menandai bukunya. Sosok Agit semakin terlihat nyata. Seakan-akan, biru muda
adalah Agit.
Pernah suatu saat, Nad bertanya “Kamu mau
transformasi jadi Smurf* ya, Vee?”
Nad heran dengan tingkah laku Vee yang selalu membawa spidol biru mudanya. Vee
hanya ingin terus melihat Agit. Ia merasa tenang dan hangat ketika melihatnya.
Tak peduli berapa banyak anak perempuan di sekolahnya atau dimanapun yang juga
menyukai Agit. Ia hanya ingin merasa nyaman.
---
“Perbedaan yang mencolok dari sistem
pencernaannya ruminansia ini adalah lambungnya. Lambungnya ada empat. Yaitu
Rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Di slide ini udah dijelasin. Kalau mau
dicatat dulu, silakan.” Bu Akira menjelaskan.
Semua anak di kelas XI IPA 3 segera menyalin
powerpoint yang di tayangkan Bu Akira lewat LCD Proyektor di kelas mereka.
Termasuk Vee. Ia menulis dengan cekatan dan rapi. Tak lupa dihiasinya buku
catatan itu dengan spidol warna biru muda. Sejenak setelah menggunakan spidol
itu, ia memandangi spidolnya. Wajah Agit terpampang lagi. Namun, saat ini,
gambarannya semakin nyata.
Beberapa saat kemudian, Vee mengabaikan
penjelasan Bu Akira. Ia sudah pernah membaca materinya dan guru bimbelnya juga
sudah pernah menjelaskan kepadanya. Karena bosan, ia hanya menimang-nimang
spidol birunya sambil melayangkan pandangan matanya keluar kelas. Tiba-tiba Agit lewat. Bibirnya bergerak.
Awalnya, Vee mengira Agit hanya tersenyum. Namun ternyata, Agit menyapanya.
Dengan suara yang lirih, Agit memanggilnya. Hampir tidak ada yang menyadarinya.
Vee pun kaget dibuatnya. Jantungnnya berdebar kencang.
---
“Vee” sapa Agit ketika melewati Vee. Suaranya
sama lirihnya seperti saat pertama Agit menyapanya waktu itu. Entah sudah
berapa lama, Agit tak pernah absen menyapanya seperti tadi. Vee tidak pernah
tahu dari mana Agit tahu namanya.Namun itu semua dihiraukannya. Ia hanya
mencoba belajar membalas sapaan Agit. Hingga suatu hari,
“Aku siapin mobil dulu ya.” Kata Nindya tepat
setelah bel pulang berbunyi. Ya! Ini adalah hari Sabtu. Empat sekawan itu akan
segera melaksnakan kebiasaan mereka. Sementara menunggu Nindya, Nad mencoba
mengerjakan beberapa soal fisika yang tak dipahaminya, tentunya dengan bantuan
Reya. Karena bosan, Vee keluar kelas mencari udara segar.
Hampir semua murid berhamburan dari keluar
dari kelasnya masing-masing. Vee berjalan perlahan menuju pintu sambil sesekali
tersenyum menjawab pamitan teman-temannya yang akan pulang.
Ia
telah sampai di pintu. Detik lainnya arah pandangannya tertuju pada kelas
sebelahnya. XI IPA 4. Ia menunggu Agit keluar. Ia mulai mengintip kelas Agit.
Dilihatnya Agit berjalan menuju pintu kelas. Tak mau dianggap menunggu Agit,
Vee segera kembali ke posisi awalnya dan berpura-pura melihat ke arah lain.
Di sudut matanya, ia melihat Agit mendekat.
Jantung Vee berdegup kencang. Ia menahan nafasnya, dan “Hai, Vee,”. Vee
berbunga-bunga. Iya hanya mengangguk dan tersenyum melihat Agit. Nafasnya yang
tertahan langsung dihembuskannya. Entah mengapa ia merasa lega, seakan-akan
sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi tadi hilang begitu saja.
Tetapi, ternyata kalimat Agit belum selesai.
Ia menambahkan “Hai, Reya.”
Sontak hati Vee mencelos. Ia langsung menoleh
ke arah Reya. Segera disadarinya ternyata Reya sudah berdiri di dekatnya. Entah
kenapa Vee tiba-tiba ingin mendorong Reya jauh-jauh. Kalau perlu sampai dia
terjatuh. Tapi perasaan itu buru-buru dibuangnya.
Ia berkata “Loh Re, kamu udah di sini? Emang
Nad udah selesai?”
“Belum sih. Cuma mau ngebales sapaan pacar
aja.”Jawab Reya santai smabil tersenyum damai. Vee kaget bukan main.
Sepengetahuannya, yang menyapa Reya tadi, Agit. ‘Apa mungkin mereka pacaran? Sejak kapan?’
“Pacar? Siapa?” Vee tak bisa menahan rasa
keingintahuannya
“Pacarku dong. Yang tadi nyapa.” Reya
tersenyum lalu melanjutkan “Agit.”
Vee hampir saja tak bisa menahan tubuhnya
untuk tidak jatuh ke lantai. Kakinya tiba-tiba lemas. Nafasnya berat, matanya
pedas. Tapi ia menahannya
“Yaampun. Sejak kapan? Kok nggak cerita?
Selamat ya Re. Kalian emang udah cocok. Aku udah nebak kalau kalian bakal
jadian.” Vee sumringah. Tapi itu bagian bohongnya.
“Baru kemarin kok. Makasih ya Vee. Tapi baru kamu kok yang tau.”
“Iya sama-sama. Long last ya re.” Vee menjabat tangan Reya. Tetapi ia langsung
berakting buru-buru. Vee segera berpamitan kepada Reya dan menitip pesan serta
permintaan maaf untuk Nad dan Nindya. Ia membuat sebuah alasan palsu. Satu hal
yang dipikirkannya. Ia ingin ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya
terlebih dahulu
---
Setelah sampai di rumah, Vee berlari ke
kamarnya. Menutup pintu dan menguncinya. Ketika ia mlepas jaketnya, spidol biru
muda yang selama ini menemaninya terjatuh. Vee bingung. Ia ingin mengambilnya.
Tapi Ia bingung. Hatinya tersakiti oleh Agit. Tapi di sisi lain, ia harus
bahagia karena sahabatnya, Reya, baru saja jadian. Ia bingung. Sangat bingung.
Hingga akhirnya ia menangis.
Setelah beberapa lama, tangisannya mereda. Ia
segera mencuci mukanya dan keluar dari kamarnya. “Ma, nanti belanja ya. Aku mau
ganti perabot kamar.” Teriaknya. Tanpa menunggu jawaban ibunya, Vee brlari ke
kamar. Di dalamnya, masih ada spidol biru yang tadi dijatuhkannya. Tiba-tiba ia
merasa jijik. Detik berikutnya, ia segera membawa lari spidol itu ke tempat
pembakaran sampah di belakang rumahnya. Vee melempar spidol kesayangannya itu,
sambil berkata
“Terima kasih untuk semuanya, Git”